Dangerous Trip: Sanghyang Heuleut

(Bagian 3 dari 3: lanjutan dari postingan sebelumnya)

Sesampainya di pintu masuk Sanghyang Heuleut, kami parkirkan motor di dekat pos penjaga. Kami berempat harus membayar 60 ribu rupiah untuk masuk ke obyek wisata ini. Mungkin rincian per orangnya adalah 10 ribu untuk tiket masuk dan 5 ribu rupiah untuk parkir motor. Penjaga pos juga meminta nomor telepon yang bisa dihubungi. Wah, firasat saya nggak enak, mana cuacanya mulai gelap pula. Sebelum mencapai Sanghyang Heuleut, kami harus menyusuri jalan setapak sekitar ±2 kilometer…setelah bayar administrasi, mulailah kami berjalan. Jalannya 100% tanah, sempit (hanya muat dilalui dua orang kalau saling berpaspasan), kiri atau kanan jurang dipenuhi semak belukar. Extreme, cuy.

Lama-lama jalanan cenderung menurun dan semakin curam. Pemandangan semak belukar pun berubah menjadi pemandangan hutan lebat. Hujan pun mulai turun…jalanan yang 100% tanah menjadi very-sangat-licin-sekali-pisan-banget karena diguyur dan dialiri air hujan. Kiri atau kanan jalan langsung jurang. Ada handrail yang terbuat dari potongan kayu di beberapa jalur, tapi handrail tersebut tidak kokoh. Saya pegang malah goyang-goyang, ada pula yang patah…bahkan ada jalan yang membuat kami harus turun tangga layaknya turun dari taraje. Sinyal telepon pun tidak ada sama sekali. Telkomsel si raja sinyal takluk tak berdaya di tempat ini. Beuh…pikiran pun mulai tidak karuan; “Selamat nggak yah sampai di tujuan? Nanti pulang caranya gimana? Terus buat apa dong kita dimintain nomor telepon, sinyal aja nggak ada? Kalau ada apa-apa, menghubungi penjaganya gimana ya? (Poho pisan teu nanyakeun nomor telepon penjaga) (eh tapi euweuh sinyal deng)”

Bahaya death...harus menyusuri jalan begini di tengah hujan sejauh 1 kilometer. Sheer madness!

Bahaya death…harus menyusuri jalan begini di tengah hujan sejauh 1 kilometer. Sheer madness!

Lama-lama terdengar suara kerumunan orang…ah, berarti sebentar lagi sampai di tujuan! Akhirnya kami pun sampai di Sanghyang Heuleut. Banyak orang berenang di sini. Ada yang sewa jaket pelampung (20 ribu rupiah per jaket), ada yang foto-foto, ada yang diem aja karena takut jatuh (saya), ada yang makan mie, ada yang minum teh manis panas, macem-macem, lah. Menurut saya sih pemandangannya biasa-biasa saja. Memang banyak bebatuan, tapi saya pikir batuan begini sih banyak ditemukan di tempat lain yang aksesnya jauh lebih mudah dan aman. Airnya juga keruh, seperti air sungai biasa, lah. Ah, mungkin penilaian saya bias karena untuk mencapai tempat ini sangat berbahaya, hahaha.

img_20170215_142514

img_20170215_142518

img_20170215_143334

img_20170215_143338

img_20170215_143342

img_20170215_143350

img_20170215_150910

img_20170215_150913

img_20170215_150915

img_20170215_150919


Istirahat sejenak, foto-foto sedikit lagi, lalu kami pun bergegas pulang, sebelum hari semakin gelap. Kembali menyusuri jalan yang tadi, ternyata jalan pulang jauh lebih berbahaya karena tanahnya sudah benar-benar tercampur air. Ditambah lagi, sepatu saya solnya sudah habis. Mau berpijak bagaimanapun, pasti terpeleset. Absolutely no grip whatsoever!! Saya bahkan sampai benar-benar nggak bisa berdiri karena memang jalannya licin sekali, dan entah sudah berapa kali saya terpeleset dan jatuh. Beruntung ada teman-teman yang menolong saya (big thanks to Addo and Tio!), kalau nggak, mungkin saya udah jatuh ke jurang…saya jadi ingat perjalanan saya ke Curug Sanghyang Taraje, sama-sama bernama Sanghyang, sama-sama berbahaya dan sama-sama hampir merenggut nyawa saya. Ah, cukup sekali saja saya mengunjungi tempat ini. Kapok.

Setelah berkali-kali terpeleset, akhirnya kami sampai juga di pintu masuk…sungguh lega rasanya melihat tempat parkir, hahaha. Kami pun menunaikan shalat Ashar dan langsung bergegas pulang karena hujan semakin deras dan hari semakin gelap. Alhamdulillah perjalanan pulang lancar dan kami semua selamat sampai di rumah masing-masing.


Leave a comment